Judul film: Mad Max: Fury Road
Sutradara: George Miller
Produser: Doug Mitchell, George Miller, P.J. Voeten
Distribusi: Warner Bros. Picture
Pemain: Tom Hardy, Charlize Theron, Hugh Keays-Bearn
Di masa depan, seluruh permukaan bumi diselimuti gurun berpasir. Tidak ada yang tersisa selain tanah rawa yang mengandung asam, badai pasir dan manusia yang terpilah menjadi berandal-berandal kehausan. Bumi kekeringan dan satu-satunya sumber air bersih yang tersisa berada di Citadel, sebuah imperium di tengah gurun yang dikuasai oleh Immortan Joe (diperankan oleh Hugh Keays-Bearn)—lelaki tua sekarat beristeri lima yang menjadi peternak (the breeders) untuk melahirkan keturunan yang sempurna dan bebas radiasi tidak seperti kebanyakan warga Citadel. Bagi Joe, setiap orang yang tinggal di Citadel (The Wretched) adalah miliknya sebagaimana dia mengklaim kepemilikan atas air. Di hari-hari sekarat Bumi, airlah—bukan minyak bumi— yang menjadi sumber kekuasaan, dan oleh karena itu menjadi sumber peperangan.
Mad Max: Fury Road merupakan kelanjutan dari tiga sequel Mad Max franchise sebelumnya yaitu Mad Max (1979), Mad Max 2 (1981) dan Mad Max: Beyond Thunderdome (1985). Setelah ledakan nuklir menyapu habis permukaan bumi hingga menjadi gurun pasir, Max Rockatansy (Tom Hardy) menjadi salah satu manusia di Bumi yang selamat. Singkat cerita, Max bertemu dengan Furiousa (Charlize Theron), salah satu letnan Joe yang berkhianat di tengah penugasannya mencari gasoline (baca: air), setelah berhasil lepas dari War Boys yang menjadikannya kantung darah bagi War Boys yang sekarat. War Boys sendiri merupakan kelompok paramiliter yang diambil dari anak-anak muda sehat dan kuat dari keturunan The Wretched dan dimanipulasi agar menjadi pengabdi bagi Immortan Joe demi memperoleh surga yang dijanjikan (Valhalla). Mad Max: Fury Road melahirkan sebuah fantasi tentang oligarki yang sama keringnya dan ilusifnya dengan gurun berpasir.
Immortan Joe mewakili sosok oligark yang melakukan kontrol terhadap distribusi kapital (yaitu air) sekaligus menjadi manipulator untuk menjaga status quo kepemilikannya terhadap kapital. Citadel bukan sekedar sebuah kota, ia adalah sistem kekuasaan yang dikreasi oleh Joe di mana kehidupan setiap orang dihabituasi untuk selalu tergantung kepada kapital. Ketergantungan merupakan prakondisi namun di saat yang sama penundukan merupakan hal yang niscaya agar akses terhadap kapital dapat dibuka. Di dunia di mana oligarki menjadi sebuah imperium raksasa, penolakan terhadap penundukan adalah tindakan yang murtad. Pembangkangan terhadapi oligark merupakan keputusan yang melawan takdir manusia.
Hari-hari ini, oligarki menyembul di antara riak-riak privatisasi sumber daya alam yang diyakini menjadi alternatif paling niscaya untuk menuju kehidupan yang modern. Privatisasi memang menawarkan efisiensi dalam pengelolaan dan kepastian dalam distribusi namun oligarki juga bukan hanya melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam itu sendiri; oligarki mengeksploitasi kemanusiaan, mematerialisasi manusia ke dalam siklus ketergantungan terhadap sistem kepemilikan kapital. Dalam masyarakat modern, mustahil rasanya memikirkan bahwa air, bumi dan udara sepenuhnya “dieskploitasi” secara komunal di mana setiap orang secara proporsional memperoleh apa yang menjadi haknya. Sayangnya kemustahilan pun sama ilusifnya dengan Valhalla yang oleh karenanya para War Boys rela mati demi “Joe yang Abadi”.
Hidup di bawah bayang-bayang oligark seharusnya memuakkan. Oligark yang mengatur seseorang harus berbuat apa, siapa mendapat apa dan kapan seseorang mendapatkan apa yang sebetulnya menjadi haknya. Pembangkangan di Citadel justru datang dari orang yang berada di lingkaran kekuasaan Immortan Joe. Furiosa adalah seorang anak dari Tanah Para Ibu (The Land of Many Mothers) yang diculik oleh tentara Joe untuk mengabdi padanya. Selama 7000 hari hidupnya dihabiskan untuk melayani Joe memasok air, sumber kekuasaannya. Di tengah perjalanan ia memutar kemudi War Rig, mobil truk besar untuk mengangkut air dan memilih untuk kembali ke tana asalnya yang belakangan telah berubah menjadi rawa yag diselimuti asam. Di ujung jalan dia harus menghadapi fakta sulit: tidak ada satu-satunya cara untuk menjadi bebas selain memutus rantai kekuasaan sang oligark.
Bersama Tom dan lima isteri Joe yang ikut melarikan diri, Furiosa kembali ke Citadel untuk mengambil-alih satu-satunya kekuasaan yang dimiliki Joe. Pembangkangan Furiosa juga merupakan pembangkangan para perempuan terhadap karakter patriarki dalam oligarki. Dalam Mad Max: Fury Road, Furiosalah pembentuk jalan cerita: ia memberi perspektif dari kehadiran perempuan dalam lingkaran kekuasaan oligark bahwa perempuan punya fungsi yang lebih dari sekedar melahirkan oligark-oligark baru. Perempuan seharusnya menentukan pada posisi apa dia ingin berada dalam sistem kekuasaan. Kematian Joe di tangan Furiosa merupakan simbol atas kematian maskulinitas dalam oligarki dan kemenangan perempuan dalam pengambilan keputusan.
Furiosa berhasil kembali ke Citadel bersama mayat Joe yang tewas dengan mulut robek menandaskan betapa oligarki telah menjadi bangkai. Ia bersama empat isteri yang tersisa—satu isteri Joe, Angharad, tewas tergilas mobilnya sendiri mengambil alih singgasana Immortan Joe—yang kenyataannya tidak abadi—dan mulai mengalirkan air kepada warga Citadel. Tom, yang sejak awal menjadi sudut pandang dalam film, memilih untuk tidak ikut bergabung dengan Furiosa: sebuah momen pengakuan yang bijaksana.
Penulis: Miftah Fadli – Asisten Program Advokasi KebijakanLembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)