Ekonomi digital Indonesia terus berkembang pesat dan diprediksi akan menjadi ekonomi masa depan. Pada tahun 2021, sektor ini berkontribusi sebesar US$70 terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) serta memiliki kenaikan persentase sebesar 49% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Angka tersebut diperkirakan akan terus tumbuh menjadi US$146 miliar pada tahun 2025.
Di Indonesia, ruang lingkup ekonomi digital yang berkembang diklasifikasikan ke beberapa sektor meliputi, e-commerce, blockchain, media sosial, penyedia layanan internet dan platform tenaga kerja digital.
Meskipun perkembangan ekonomi digital semakin signifikan, sayangnya dampak sektor ini terhadap hak asasi manusia (HAM) belum diperhatikan secara serius baik oleh pemerintah maupun perusahaan digital.
Bentuk pelanggaran HAM Industri Ekonomi Digital
Beberapa dampak HAM yang timbul dalam sektor ekonomi digital meliputi pelanggaran privasi, pelanggaran hak pekerja, serta pembungkaman berekspresi. Dalam isu pelanggaran privasi, masyarakat rentan mengalami kebocoran data pribadi, kebocoran data genetika, serta peredaran kamera pengintai (spycam) yang menjadi ancaman nyata terhadap hak atas privasi, khususnya perempuan.
Selanjutnya pelanggaran hak pekerja juga kerap menjadi ancaman dalam industri ini. Bentuk pelanggarannya antara lain upah yang tidak layak, kondisi kerja yang tidak layak, kontrak kerja yang tidak adil, manajemen yang tidak layak, serta tidak adanya kebebasan berserikat dan kebebasan berekspresi bagi para pekerja. Contoh jelas dari ketimpangan tersebut dapat dijumpai dalam praktik kerja layanan transportasi online yang mana para pekerja sangat rentan mengalami eksploitasi dan tidak adanya jaminan keamanan kerja.
Lebih jauh, pembungkaman berekspresi juga kerap menjadi kasus pelanggaran HAM dalam industri ekonomi digital terkhusus dalam platform media sosial. Elsam mendapati setidaknya ada 44 kasus terkait kebebasan berpendapat dan berekspresi sepanjang 2020-2021. Serangan digital dalam konteks kebebasan berpendapat meliputi kekerasan atau hijacking dan peretasan.
Ketidakadilan Gender dalam Ekonomi Digital
Perkembangan industri digital juga telah menyuburkan berbagai praktik kekerasan berbasis gender. Salah satu yang paling meresahkan yakni kekerasan berbasis gender online (KBGO). Di tahun 2021 kasus KBGO menjadi jenis laporan kekerasan paling banyak dilaporkan dengan jumlah kasus mencapai 489. Korban yang mengalami KBGO kerap menerima ancaman konten pribadi, tipu daya, pelecehan seksual dunia maya, pencemaran nama baik, dan pengintaian.
Selanjutnya, bentuk diskriminasi berbasis gender juga terlihat dalam penanaman logika seksisme dan pornografi dalam pemasaran. Dalam studi yang dilakukan, Elsam menemui bahwa kamera pengintai (spycam) menjadi ancaman nyata bagi perempuan melihat alat ini membuat perempuan makin rentan menjadi sasaran objektifikasi perihal tubuhnya. Parahnya, penjualan barang tersebut dilakukan dengan menggunakan deskripsi serta foto yang mengasosiasikan kegunaan alat ini untuk mengintai perempuan. Salah satu contoh narasi iklan yang diidentifikasi adalah “Kamera Tersembunyi Buat Ngintip”
Selain itu, industri ekonomi digital juga telah berkontribusi dalam penghambat pemberdayaan ekonomi perempuan. Temuan dari Australia Indonesia Partnership for Economic Governance (AIPEG) menyebut pengaruh sticky floor (Ketidaksetaraan gender dalam bisnis) terhadap kesenjangan upah gender di sektor informal. Tingkat kesenjangan upah di Indonesia berada pada angka 34 persen di sektor formal dan 50 persen di sektor informal. Sebagian besar kesenjangan ini bukan karena perbedaan karakteristik produktif tetapi mencerminkan praktik diskriminatif.
Potret Perlindungan HAM dalam Bisnis Digital di Indonesia
Ketidakseriusan pemerintah dan perusahaan dalam menangani isu HAM di industri digital terlihat dari beberapa poin antara lain ketidakmampuan negara dalam mengontrol kegiatan perusahaan digital, belum adanya mekanisme hukum yang efektif sebagai perlindungan korban, belum adanya akses yang mudah dan cepat bagi korban untuk mendapatkan keadilan, perusahaan belum memiliki kebijakan internal yang memadai untuk melindungi hak pekerja dan pengguna layanan, perusahaan belum memiliki desain teknologi yang ramah HAM.
Sejatinya, negara dan perusahaan bertanggung jawab memastikan aktivitas bisnis digital sejalan dengan HAM. Tanggung jawab ini telah ditegaskan PBB dalam Prinsip-prinsip panduan bisnis dan HAM (UNGPs) yang dipetakkan menjadi 3 pilar antara lain
- Pemerintah: Pemerintah harus melindungi individu dari pelanggaran HAM oleh pihak ketiga termasuk pelaku bisnis melalui regulasi yang melindungi pengguna teknologi atau pekerja di bidang ekonomi digital
- Perusahaan: Perusahaan bertanggung jawab untuk menghormati HAM. Ini berarti perusahaan tidak melanggar HAM yang diakui secara internasional dengan menghindari, mengurangi atau mencegah dampak negatif dari operasional korporasi,
- Masyarakat/Korban: Negara dan perusahaan teknologi harus menyediakan mekanisme pemulihan yang efektif bagi korban yang terdampak dari praktik ketidakadilan di ekonomi digital.
Degina Adenesa