Setiap tahun pada bulan-bulan September dan Oktober isu pelanggaran HAM masa lalu, yang merupakan warisan dari rezim Orde Baru-nya Jendral Suharto, menjadi isu yang kerap dibicarakan tetapi sekaligus ingin dilupakan. Isu pelanggaran HAM selalu dieratkan dengan peristiwa G30S 1965 yaitu tragedi yang dialami oleh para jendral senior AD diikuti oleh kampanye kekerasan jauh lebih brutal terhadap orang-orang yang dituduh pengikut PKI itu merupakan topik yang paling sensitif untuk dibuka. Siapa pun yang ingin membahas isu tersebut akan selalu merasa khawatir, bahkan takut terhadap stigma buruk yang mungkin akan dialami. Pernyataan beberapa jendral senior seperti Ryamizard Ryacudu, Kivlan Zen dan tokoh-tokoh ormas di beberapa media merupakan gambaran jelas bahwa stigma buruk atas PKI dan komunisme secara umum masih menjadi hantu yang sangat ditakuti oleh banyak pihak, bahkan oleh institusi segagah militer sekalipun. Mengapa mereka begitu takut? Mengapa mereka begitu galak dalam mengekspresikan ketakutan mereka? Tulisan ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan cara membahas bagaimana rasa takut itu dilegitimasi, dipelihara dan disebarkan melalui produksi kebudayaan oleh agen-agen Orde Baru.
Munculnya Narasi Resmi G30S ambar puspa galuh
Menurut Johan Galtung, praktek kekerasan negara dapat dilegitimasi melalui produksi kebudayaan sehingga kekerasan itu menjadi tampak normal dan alamiah. Dengan demikian proses legitimasi melalui produksi kebudayaan menjadi topik yang sangat penting sekaligus sulit untuk diukur. Penting, karena justru melalui produksi kebudayaan inilah nilai-nilai sosial dan moral mengalami transformasi radikal dan terpelihara untuk jangka waktu yang sangat lama. Sulit untuk diukur, karena nilai-nilai sosial dan moral yang mengalami transformasi di dalam produksi kebudayaan itu bersifat multi-interpretasi. Namun demikian, sulit dipungkiri bahwa apapun alasannya sebuah peristiwa kekerasan yang diorkestrasi oleh negara merupakan pelanggaran HAM berat. Dalam konteks peristiwa 1965, tentu saja penculikan dan pembunuhan atas para jendral senior di Lubang Buaya itu merupakan pukulan hebat bagi bangsa Indonesia yang tengah membangun sebuah negara yang bebas dari pengaruh Perang Dingin antara blok Barat dan Timur. Saya sepakat bahwa siapa pun pelaku dan dalang di balik peristiwa itu harus diadili dan dihukum, karena negara Indonesia adalah negara hukum. Namun demikian, apa yang terjadi setelah G30S 1965 jauh lebih mengerikan karena korban yang dibantai oleh militer dan aliansi sipil mereka berjumlah ratusan ribu hingga jutaan dan mati dengan cara yang sangat brutal hanya karena mereka dituduh pengikut PKI. Harus diingat, bahwa pembantaian ini dilakukan secara sitematis dan meluas dalam skala nasional dan tanpa prosedur hukum. Satu-satunya alat pengesahan terhadap pembantaian itu adalah sebuah risalah yang disusun oleh militer sendiri melalui tangan sejarawan militer Nugroho Notosusanto, di mana PKI dituduh sebagai dalang dari G30S, hanya kurang dari 2 bulan setelah peristiwa itu (40 Hari Kegagalan G30S, 1965).
Dalam konteks ini saya tidak sepakat jika sebuah risalah yang disusun dengan sangat terburu-buru apalagi tanpa data yang akurat, kemudian dijadikan landasan pengesahaan terhadap pembunuhan jutaan manusia tanpa proses hukum yang belum tentu pengikut komunis. Terlebih lagi jika risalah itu juga dipakai sebagai alat legitimasi atas peristiwa-peristiwa kekerasan lain sejak Orde Baru berdiri hingga saat ini hanya untuk menyebut sebuah gerakan kritik sebagai bahaya laten komunisme seperti yang terjadi dalam kasus Kedung Ombo 1989, Marsinah 1993, 27 Juli 1996 dan gerakan reformasi 1998. Pemerintah Orde Baru selalu memanfaatkan risalah ini untuk mengangkat isu komunisme sebagai bahaya laten dan dilemparkan kepada para aktivis yang tidak puas dengan pemerintahan despotis Orde Baru dan sisa-sisanya yang masih bergentayangan hingga hari ini.
Walaupun risalah ini sudah direvisi oleh penulisnya (The Coup Attempt of the “September 30 Movement”, 1967) dan kemudian dijadikan buku pegangan resmi pemerintah (Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang Aksi dan Penumpasannya, 1994), namun tidak ada upaya perombakan yang penting di dalamnya, walaupun sudah banyak sekali penelitian yang menyangkal versi militer itu. Sebaliknya, risalah itu justru semakin dibakukan baik dalam tingkat kronologis maupun analitis: PKI tetap dalang, militer tetap pahlawan.
Beberapa Permasalahan Akademik
Hal utama yang menjadi permasalahan dalam penyusunan sejarah 1965 versi Nugroho adalah persoalan akademik. Dalam karya awalnya Nurgoho secara jelas berusaha memperlihatkan diri sebagai seorang akademisi dengan cara memaparkan pandangan ideologis PKI yang dianggap atheis dan dipertentangkan secara tajam dengan karakteristik “manusia Indonesia” yang bermoral, normatif dan bertuhan. Uraian ini kemudian dilanjutkan dengan detail dari tujuan-tujuan politik PKI yang dianggapnya terwakili dalam rapat-rapat rahasia PKI. Ada banyak sekali permasalahan yang timbul dari uraian semacam ini misalnya mengapa pandangan politik PKI menjadi sorotan utama dalam analisis Nugroho yang dikaitkan dengan rencana-renacana jahat untuk makar walaupun kita ingat bahwa: 1. PKI adalah partai sah di tahun 1965 dan 2. Setiap partai politik pasti akan melakukan rapat-rapat untuk menentukan tujuan politik mereka. Kronologis peristiwa 1965 juga tidak diuraikannya dengan baik serta sebagian besar dari data yang dipakainya adalah berupa kliping koran yang terbit setelah peristiwa G30S (misalnya Berita Yudha, Angkatan Bersenjata dan Api Pancasila) dan wawancara dengan keluarga para jendral, korban pembunuhan di malam 30 September itu.
- Scene film propaganda rezim Soeharto terkait peristiwa 65 ( Sumber Youtube)
Kita tahu bahwa koran-koran telah dilarang terbit pada tanggal 1 Oktober kecuali koran PKI Harian Rakyat (yang anehnya justru memperlihatkan dukungan terhadap G30S walaupun mereka sudah tahu gerakan itu gagal) dan koran-koran militer yang merilis informasi tentang G30S di mana PKI sudah dituduh sebagai pelaku percobaan kudeta. Koran lain yang kemudian terbit juga membebek pada koran-koran militer yang tidak saja secara terbuka menuduh PKI tapi juga menyebarkan kebencian publik dengan cara memfitnah para simpatisan PKI termasuk kaum perempuannya sebagai entitas setan, cabul, dan kejam. Berbulan-bulan setelah peristiwa itu, sumber informasi dimonopoli oleh militer, hampir semua koran yang terbit turut melakukan kampanye hitam terhadap PKI dan para pengikutnya yang sedang dibantai di berbagai pelosok nusantara. Ketika sumber-sumber informasi yang ada waktu itu sudah sangat bias dibarengi dengan sarat dengan kepentingan politik militer, maka akademisi yang mengikuti arus informasi itu adalah kesalahan fatal. Bisa dilihat di dalam karya awal Nugroho itu bahwa dia sama sekali tidak mempertanyakan informasi yang berkembang di media. Kedua, mengapa dia sama sekali tidak mencari data pembanding ketika melakukan riset sehingga pada tingkat analitis karya tersebut menjadi lebih bisa diterima. Jawaban dari pertanyaan itu tentu saja terletak pada pandangan ideologis Nugroho sendiri yang memang sangat memuja militerisme dan menganggap diri sebagai seorang tentara walaupun sebenarnya bukan.
Bias ideologis seperti ini tentu sangat berpengaruh pada argumen yang dibangunnya di dalam karya tersebut, dan pada gilirannya, Nugroho, sadar maupun tidak, telah mengorbankan kredibilitasnya sebagai akademisi. Namun kesalahan paling fatal Nugroho dalam karya nya itu adalah tuduhan membuta terhadap PKI sebagai dalang dari peristiwa G30S. Hal ini karena Nugroho dengan begitu saja me ngulangi tuduhan yang dilakukan Jendral Suharto pada 1 Oktober 1965 pagi di markas Kostrad. Suharto, yang mendapat bisikan dari asistennya Kolonel Yoga Sugama dan juga pengetahuannya sendiri mengenai kedekatan komandan G30S Kolonel Untung dengan tokoh senior PKI Alimin di masa lalu, tanpa ragu menuduh bahwa PKI berada di belakang G30S. Kita mungkin bisa memahami bahwa Suharto harus secara cepat menentukan pelaku percobaan KUP walaupun tetap harus dipersalahkan karena telah menuduh tanpa bukti dan bertindak di luar hukum dalam melakukan pembantaian yang menyusul kemudian. Namun, tindakan Nugroho yang mengulangi tuduhan itu sama sekali tidak dapat diterima karena, pertama, Nugroho memiliki waktu minimal 1 bulan untuk melakukan verifikasi data/tuduhan Suharto. Kedua, dia juga memiliki akses dan jaringan akademik yang luas pada waktu itu untuk mengumpulkan data-data yang lebih valid.
Apalagi ditambah dengan kenyataan bahwa hanya 1 bulan setelah karya Nugroho dikeluarkan oleh Pusat Sejarah ABRI, karya lain yang justru menentang argumen Suharto dan Nugroho sudah keluar secara rahasia dan diterima oleh militer di Jakarta. Karya itu adalah Cornell Paper yang disusun oleh Ben Anderson, Ruth McVey dan Frederick Bunnell. Jadi hanya dalam waktu yang tidak lama, karya Nugroho ini sebenarnya sudah berantakan, baik argumen maupun validitas datanya. Sudah sepatutnya kredit diberikan kepada jurnalis Washington Post, Joseph Kraft, yang akhirnya membocorkan rahasia keberadaan Cornell Paper di bulan Maret 1966 sehingga publik menjadi mengerti bahwa versi yang disusun Nugroho tidak bisa dipercaya begitu saja. Jika ditambah lagi dengan penelitian-penelitian yang muncul kemudian seperti karyakarya Julie Southwood dan Patrick Flanagan, WF. Wertheim, Harold Crouch, Peter Dale Scott dan lain-lain yang secara jelas membantah karya Nugroho, maka karya sejarawan militer itu semakin tidak bisa dipertanggungjawabkan. Jika militer memang tidak berperan di dalam kemelut G30S itu mengapa karya-karya lain yang lebih dapat dipercaya tidak boleh diakses publik? Apalagi dijadikan sebagai pegangan penulisan sejarah 1965. Hal ini disebabkan karena gerakan militer dalam mengorkestrasi pembantaian terhadap kaum yang dituduh komunis 1965-1966 justu sangat membutuhkan justifikasi dari karya Nugroho itu.
Justifikasi Pembantaian
Hal utama yang menjadi fokus untuk mejustifikasi pembantaian terhadap kaum yang dituduh pengikut komunis adalah memanfaatkan narasi resmi yang disusun Nugroho Notosusanto itu ke dalam berbagai media budaya dan seni. Pada bulan pertama setelah peristiwa G30S, PKI sudah secara resmi dipersalahkan oleh militer sebagai dalang dari G30S, berbagai proyek pemerintah untuk mengingatkan sekaligus membangkitkan kebencian masyarakat terhadap partai tersebut mulai dilaksanakan. Monumen, museum dan hari peringatan Kesaktian Pancasila, misalnya, mulai dijadikan tempat dan waktu pelaksanaan ritual nasional yang wajib dipatuhi oleh segenap masyarakat Indonesia, yang tujuannya tidak lain adalah : seremonial yang kembali meningkatkan kebencian paham komunis.
Demikian pula dengan program-program pendidikan termasuk bahan-bahan penataran untuk pegawai negeri sipil dan militer serta buku-buku pelajaran sekolah dari SD sampai perguruan tinggi, tidak lepas dari program indoktrinasi raksasa Orde Baru untuk menancapkan ideologi kebencian terhadap komunisme. Melalui berbagai program ini, Orde Baru dengan sukses memunculkan paranoia parah terhadap PKI dan komunisme di tengah-tengah masyarakat. Hampir semua domain kebudayaan tidak lepas dari cengkeraman doktrin Orde Baru. Bahkan aktivitas kesenian yang konon wajib dilepaskan dari kepentingan politik apa pun nyatanya tidak bebas dari genggaman Orde Baru dan agenagen kebudayaannya. Film, sastra dan institusi-insitusi pendukungnya seperti TIM, DKJ dan majalah sastra Horison misalnya, juga tunduk (atau menundukkan diri dengan senang hati) terhadap kooptasi negara di bawah Orde Baru. Dalam pidato peresmian TIM dan perangkat organisasinya DKJ di tahun 1968, Gubernur Ali Sadikin, menyatakan dengan tegas bahwa aktivitas kesenian tidak boleh diintervensi oleh politik apalagi ideologi komunisme. Hal ini sama artinya dengan upaya memisahkan secara absolut antara politik dan kebudayaan yang pada dasarnya justru tidak bisa dilakukan. Dengan kata lain aktivitas kebudayaan dan kesenian diisolasi ke dalam “suaka” yang dibangun untuk menyingkirkan gagasan “kiri” yang “mewajibkan” kebertautan antara politik dan kebudayaan.
Sementara aktivitas seni dan budaya diasingkan dari kehidupan politik, pemerintah Orde Baru dan agen-agen kebudayaan mereka justru dengan sadar memanfaatkan aktivitas kesenian untuk digunakan sebagai wadah kepentingan politik mereka untuk memperluas kebencian masyarakat terhadap komunisme. Film dan novel Pengkhianatan G30S/PKI (Arifin C. Noer, 1984 dan Arswendo Atmowiloto, 1986) serta puluhan cerpen yang terbit di majalah Horison dan Sastra (1966- 1970), merupakan bukti jelas bahwa karya-karya kebudayaan dan kesenian ini menjadi instrument politik yang penting bagi penyebaran kebencian terhadap komunisme.
Jika kita mencermati karya-karya seni tersebut secara seksama kita akan melihat bagaimana narasi dan dialog-dialog yang membangun struktur cerita dimanipulasi sedemikian rupa untuk melihat komunisme sebagai musuh bersama. Isu apa pun yang berkaitan dengan ajaran komunis dan Marxisme secara umum akan dimasukkan ke dalam bingkai kesesatan dan pengkhianatan. Yang lebih parah lagi, dalam cepen-cerpen yang diterbitkan Horison dan Sastra, kisah para pelaku pembantaian kaum komunis itu justru di letakkan dalam konteks kepahlawanan dan dijadikan fokus simpati pembaca karena tindak kekerasan itu dianggap bagian dari nilai-nilai humanisme yang dianut oleh para tokoh pelaku pambantaian. Dalam konteks ini, karya-karya seni ini jelas dijadikan alat untuk menjustifikasi peristiwa kekerasan 1965 yang digambarkan di dalam kisah-kisah tersebut.
Hal yang sama tentu saja bisa dilihat secara jelas, baik di dalam produksi narasi sejarah karya Nugroho, maupun transformasinya melalui film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer. Di situ kita dapat mencermati dengan jelas bagaimana penggambaran militer dan PKI dipertentangkan secara tajam. Gambaran tersebut memberikan penilaian secara hitam putih: militer pahlawan, sedangkan PKI setan. Narasi yang dibangun oleh Arifin diletakkan sedemikian rupa sehingga beberapa isu penting seperti rapat-rapat yang digelar PKI dan pelatihan militer di Lubang Buaya seolah-olah hanya ditujukan bagi kepentingan PKI untuk merebut kekuasaan. Sementara kita tahu bahwa setiap organisasi politik, apa pun partainya, pasti akan melakukan rapat-rapat sesuai dengan agenda politik mereka masing-masing, bahkan yang paling rahasia sekali pun, belum tentu bertujuan menyusun rencana makar. Demikian pula dengan pelatihan-pelatihan militer yang jelas ditujukan untuk menggalang kekuatan dalam rangka kampanye menentang pendirian negara boneka Inggris Malaysia. Hal semacam ini tentu problematik jika para pembuat film bertujuan untuk menekankan aspek dokumenter dalam film mereka, jelas membutuhkan banyak sekali detail yang ternyata tidak sesuai kenyataan. Dengan demikian, secara sederhana, siapa pun yang menonton film itu seharusnya tidak menganggap bahwa film itu adalah film sejarah atau dokumenter namun murni fiksi hasil dari imajinasi Nugroho Notosusanto dan pelaksananya Arifin C. Noer.
Jika manusia Indonesia tetap memperlakukannya sebagai sebuah karya dokumenter, seperti yang selama ini dikampanyekan oleh Orde Baru, maka pengaruh ideologis dalam film itu akan dengan mudah masuk ke dalam benak bangsa ini. Hal ini karena para pembuat film itu dengan sangat cerdas dan sadar telah membangun struktur kisah sedemikian rupa untuk membangkitkan amarah dan kebencian terhadap PKI, terlepas dari apa pun fakta yang terjadi pada malam 30 September itu. Ketika kemarahan dan kebencian terhadap PKI sudah terbangun maka fakta menjadi terabaikan dan peristiwa kekejaman luar biasa pasca G30S terhadap orang-orang yang dituduh komunis menjadi tidak penting, menjadi wajar dan normal, bahkan justru semakin dianggap alamiah. Pada titik ini, sebagaimana halnya kisah-kisah yang terbit di majalah anti-komunis Horison dan Sastra, karya Nugorho dan film Pengkhianatan G30S/PKI berperan penting dalam menjustifikasi peristiwa pembantaian terhadap jutaan orang di tahun 1965 itu. 50 tahun telah berlalu sejak peristiwa kelam itu terjadi, seharusnya bangsa ini sudah berangkat meninggalkan kesalahan masa lalu itu. Seharusnya sejarah versi Orde baru yang menyesatkan itu dibongkar sampai ke akar-akarnya. Seharusnya kita bisa melihat secara jernih bahwa rezim Orde Baru itu berdiri di atas genangan darah jutaan manusia Indonesia.