Diskriminasi Perempuan di Perkebunan Sawit

Ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah menghadirkan beragam praktik diskriminasi dalam aspek sosial dan ekonomi terhadap perempuan.

Kekhawatiran tersebut telah dikemukakan secara meluas oleh para peneliti yang menyebut ketimpangan tersebut hadir dikarenakan dimensi gender yang seringkali terpinggirkan dari perdebatan seputar kelapa sawit berkelanjutan.

Center for International Forestry Research (CIFOR) dalam penelitiannya yang berjudul Social impacts of oil palm in Indonesia: A gendered perspective from West Kalimantan mengungkapkan satu dari sekian banyak bentuk diskriminasi gender dalam industri sawit yakni hak perempuan atas lahan.

Partisipasi perempuan atas lahan dibatasi oleh norma patriarkis yang ada di masyarakat. Dalam proses negosiasi dengan pemerintah atau perusahaan atas proyek pembangunan, misalnya, perempuan tidak diberi ruang untuk terlibat. Mereka diwakili oleh kepala keluarga laki-laki yang menyebabkan ruang partisipasi dan suara perempuan untuk menentukan pilihan kian sempit. Ditambah lagi tergerusnya posisi perempuan sebagai pemilik tanah yang disebabkan pendaftaran petak kelapa sawit rakyat atas nama laki-laki.

Penelitian tersebut menganalisis bahwa tidak adanya hak perempuan atas lahan menyebabkan mereka tidak aman jika terjadi perceraian. Dan juga tidak adanya transparansi akan menyebabkan laki-laki dapat menjual atau menggadaikan tanah.

Bentuk diskriminasi dan eksploitasi
Selain isu hak atas lahan, praktik diskriminasi dan eksploitasi buruh perempuan juga tercermin dalam beberapa hal. Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (SERBUNDO) dalam studinya yang bertajuk Kondisi Umum Buruh Perempuan di Perkebunan Kelapa Sawit Sumatera mengklasifikasikan praktik diskriminatif ke dalam 5 aspek antara lain status kerja, upah, jaminan sosial, jaminan kesehatan, dan beban ganda.

Dalam aspek status kerja, perempuan memiliki posisi sebagai buruh harian lepas (BHL) atau asisten suaminya. Hal ini menyebabkan perempuan tidak memiliki jaminan kerja serta keberadaan mereka cenderung tidak diakui. Status tersebut berimplikasi pada ketidaksetaraan kesempatan kerja serta kurangnya perlindungan baik secara fisik maupun finansial.

Kemudian, perempuan juga mengalami diskriminasi terhadap upah yang mana nominal gaji yang diperoleh perempuan lebih kecil dibanding laki-laki. Sistem kerja ini telah melanggengkan praktik eksploitatif kepada buruh utamanya perempuan.

Lebih lanjut, dalam aspek jaminan kesehatan, buruh perempuan rentan mendapatkan kerugian secara fisik. Hal ini terlihat dalam pembagian kerja yang membebankan perempuan pada sektor perawatan kebun. Hal ini memaksa mereka untuk yang berhubungan dengan bahan kimia dari berbagai jenis pestisida tanpa dilengkapi Alat Perlindungan Diri (APD) yang memadai. Tentu saja pekerjaan perawatan ini berdampak buruk bagi kesehatan perempuan.

Mirisnya jaminan kesehatan tersebut diperparah dengan aspek jaminan sosial yang tidak dimiliki. Di industri sawit, buruh perempuan tidak mendapatkan jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan, hak reproduksi (cuti haid, hamil, melahirkan, keguguran, menyusui), serta tunjangan fasilitas (perumahan, penerangan, air bersih).

Hal lain yang menjadi tindak diskriminasi kepada buruh perempuan yakni beban ganda yang mana perempuan harus menanggung pekerjaan domestik dan di sisi lain mereka juga bekerja sebagai sebagai buruh untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.

Regulasi Indonesia tentang Hak Buruh Perempuan
Sebenarnya, regulasi di Indonesia telah memuat tentang perlindungan buruh perempuan yang diatur dalam sejumlah Undang-Undang, antara lain; UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Pasal 5, 6, 81, 82, dan 83), UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (Pasal 128, 164,165, 166), UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita, UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Namun sayangnya, implementasi aturan-aturan tersebut masih belum optimal yang disebabkan ketidakpatuhan perusahaan menjalankan regulasi tersebut.

Selain UU, narasi mengenai perlindungan buruh perempuan juga telah termuat dalam pilar ll Bisnis dan HAM (UNGPs) dalam aspek Uji Tuntas Responsif Gender (GRDD).

GRDD sendiri didasarkan pada pengakuan bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak netral gender dan tidak boleh diperlakukan seperti itu. GRDD memastikan bahwa lensa gender diterapkan pada setiap langkah proses uji tuntas dan mendorong perusahaan untuk secara aktif mendukung kesetaraan gender.

Degina Adenesa
Sumber:
Li, TM. 2015. “Social Impacts of Oil Palm in Indonesia: A gendered Perspective from West Kalimantan.” Occasional Paper 124. Bogor, Indonesia: CIFOR.

Elmhirst, R. dkk. Gender Issue in Large Scale Land Acquisition: Insight From Oil Palm in Indonesia.” Report Submitted to the Rights and Resources Initiative (RRI), Washington D.C. 15th April, 2017

https://www.ohchr.org/sites/default/files/Documents/Issues/Business/Gender_Booklet_Final.pdf

RSPO. Practical Guidance on Gender Inclusion and Compliance to the 2018 P&C and 2019 ISH Standard.

Tulisan Terkait

Apa itu Internet Shutdown? Sebuah Panduan bagi Masyarakat Sipil di Asia Selatan dan Tenggara

Di dalam masyarakat digital saat ini, akses internet telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari: dari menjalankan usaha dan transaksi keuangan, komunikasi...

Diskriminasi Perempuan di Perkebunan Sawit

Ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah menghadirkan beragam praktik diskriminasi dalam aspek sosial dan ekonomi terhadap perempuan. Kekhawatiran tersebut telah dikemukakan secara meluas oleh...

Problematika Ekonomi Digital: Dari Pelanggaran Hak Privasi, Hak Pekerja Hingga KBGO

Ekonomi digital Indonesia terus berkembang pesat dan diprediksi akan menjadi ekonomi masa depan. Pada tahun 2021, sektor ini berkontribusi sebesar US$70 terhadap Produk Domestik...

Terbaru