Maraknya disinformasi yang termanifeskan melalui penyebaran hoax dan fake news melalui media sosial dan internet juga telah menjadi pemicu penting naiknya intoleransi, yang berdampak pada terancamnya kebebasan sipil. Dipicu informasi bohong, terjadi sejumlah tindak kekerasan, mulai dari pelecehan verbal hingga penyerangan fisik terhadap kelompok tertentu, yang umumnya berasal dari kelompok minoritas/rentan. Lagi‐lagi respon pemerintah juga nampak kurang komperhensif dan simultan, untuk meminimalisir tingginya disinformasi yang berdampak pada rentannya perlindungan kebebasan sipil.
Dari akhir tahun 2016 hingga sepanjang tahun 2017, kasus ‘main hakim sendiri’ marak terjadi. Hal tersebut tidak lepas dari pengaruh daripada perkembangan berita palsu dari media sektarian dan kabar bohong (hoax) dari media sosial dalam jaringan. Menurut catatan ELSAM sepanjang tahun 2017 sedikitnya ditemukan 54 peristiwa yang memenuhi unsur dari main hakim sendiri.
Dari 54 peristiwa main hakim sendiri, ditemukan 6 perbuatan yaitu pengeroyokan, penghilangan nyawa, pembubaran acara, pelanggaran privasi, intimidasi, dan pengerusakan. Perbuatan pengeroyokan terjadi pada 34 peristiwa, 15 di antaranya berakhir pada meninggalnya korban. Perbuatan yang melanggar privasi sebanyak 11 peristiwa, contohnya perburuan, penggerebekan dan pelecehan, hingga penyebaran data pribadi korban. Perbuatan pengerusakan sebanyak 7 peristiwa termasuk, pengerusakan rumah, mobil, dan pembakaran fasilitas umum. Dari 54 peristiwa main hakim sendiri diikuti dengan 11 peristiwa intimidasi dan 3 pembubaran acara.
Dari 34 provinsi di Indonesia, sebanyak 18 provinsi pernah terjadi peristiwa main hakim sendiri. Berdasarkan data ELSAM jika dilihat berdasarkan sebaran lokasinya, Jakarta menjadi provinsi yang paling banyak ditemukan peristiwa main hakim sendiri yakni sebanyak 13 peristiwa; diikuti Jawa Barat dengan 11 peristiwa; lalu Riau dengan 4 peristiwa. Selanjutnya ada Jawa Timur, Jawa Tengah dan Aceh di tempat keempat dengan masing‐masing 3 peristiwa. Bali, Sumatera Utara dan NTT, masing‐masing tercatat dengan 2 peristiwa. Masing‐masing menyumbang 1 peristiwa yang tercatat sebagai main hakim sendiri yaitu Sumatera Barat, Jambi, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Maluku, dan Banten. Sisanya 16 provinsi di Indonesia tidak memiliki catatan terjadinya peristiwa dengan perbuatan‐perbuatan yang main hakim sendiri.
Sepanjang tahun 2017, bulan Desember menjadi puncak terjadinya main hakim sendiri di Indonesia dengan 8 peristiwa; disusul bulan Mei sebanyak 7 peristiwa; lalu September dengan 6 peristiwa; Juli, Agustus, dan Oktober masing‐masing sejumlah 5 peristiwa; Januari dan November dengan 4 peristiwa; pada Februari dan Maret sebanyak 3 peristiwa; terakhir pada April sebanyak 2 peristiwa. Adanya lonjakan yang cukup tinggi pada pertengahan tahun dan hanya mengalami penurunan pada bulan Juni, sisa bulan selanjutnya cenderung stabil bahkan mengalami peningkatan.
Peristiwa main hakim sendiri yang didasarkan pada persentasi jumlah pelaku. Pelaku dibagi menjadi tiga kelompok utama yaitu pelaku melakukan perbuatan main hakim sendiri karena alasan personal; pelaku adalah organisasi masyarakat; dan pelaku yang melakukan perbuatan main hakim sendiri hanya karena alasan reaksioner secara komunal atau kolektif. Sebanyak 43% perbuatan dilakukan oleh pelaku yang memiliki alasan personal dengan para korbannya; sebanyak 37% pelaku merupakan warga yang tidak memiliki pertalian apapun dengan korban, alasan dari main hakim yang mereka lakukan didasarkan pada reaksi kolektif; sedangkan yang terakhir pelaku merupakan anggota dari organisasi masyarakat sebanyak 20%, yang di mana seringkali bertindak seolah‐olah menggantikan peran aparat penegak hukum.
Berdasarkan Laporan HAM ELSAM 2017
Editor: Riska Carolina